Ketrampilan
yang harus di miliki oleh seorang konseling
Dari
beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta
didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian
lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari
layanan bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan
khusus.
Dalam
prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih
dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan
pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih
diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai
proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada
peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif
dan efisien.
Secara umum,
proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap
mendefinisikan masalah) atau sering di sebut dengan Attending. (2) tahap inti (tahap kerja) atau sering di sebut dengan
Responding dan personalizing dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan
tindakan). atau Initiating
Jadi
pada intinya Keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang konseling, antara
lain:
1.
Attending
Attending adalah
perilaku konselor menghampiri klien yang
diwujudkan dalam bentuk kontak mata dengan klien, bahasa tubuh dan bahasa
lisan. Keterampilan attending juga mencerminkan bagaimana
konselormenghampiri
klien yang diwujudkan dalam perilaku di atas. Proses konseling menuntut
keterlibatan atau pertisipasi dari klien. Oleh karena itu, kemampuan attending
konselor, akan memudahkannya untuk membuat klien terlibai pembicaraan dan
terbuka. Selain itu Attending merupakan keterampilan
memperhatikan untuk meningkatkan keterlibatan klien atau sering di sebut dengan
tahap awal, Tahap ini terjadi dimulai
sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien
menemukan masalah klien.
Ciri-ciri
Attending yang baik adalah:
1.
Menganggukkan kepala dengan apabila menyetujui
pernyataan klien
2.
Ekspresi wajah tenang, ceria dan senyum
3.
Posisi tubuh agak condong kearah klien, jarak antara
konselor dengan klien dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan
4.
Variasi isyarat gerakan tangan berubah- ubah untuk
menekankan suatu pembicaraan
5.
Mendengarkan secara aktif, penuh perhatian, menunggu
ucapan klien hingga selesai.
Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
a. Membangun hubungan konseling yang
melibatkan klien (rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan
terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan;
dan kegiatan.
b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah
terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat
membantu memperjelas masalah klien.
c. Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir
kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan
membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang
sesuai bagi antisipasi masalah.
d. Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien,
berisi:
(1)
Kontrak
waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan
konselor tidak berkebaratan
(2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas
antara konselor dan klien; dan
(3) Kontrak kerjasama dalam proses
konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor
dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
e. Keterampilan
mendengarkan : untuk menjadi pendengar yang baik bukan berarti konselor hanya
diam mendengarkan tetapi harus ada empati dalam proses mendengar diatas serta
bebeapa teknik yang bisa menunjukkan bahwa konselor benar-benar mendengarkan apa
yang dieksplorasi oleh klien.
2.
Responding
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya
adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja atau yang di sebut dengan Responding adalah keterampilan menanggapi untuk
meningkatkan eksplorasi klien.
Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
a.
Menjelajahi
dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan
agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang
sedang dialaminya.
b.
Konselor melakukan reassessment
(penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali permasalahan yang
dihadapi klien.
c.
Menjaga agar
hubungan konseling tetap terpelihara.
d.
Keterampilan menanggapi isi : konselor harus mampu
memahami isi dari pernyataan klien, sebab pada umumnya klien mendapat kesukaran
untuk bisa mengungkapkan atau menyatakan suatu perasaan dirinya. Oleh karena
itu konselor perlu membantu klien, kalau perlu membantu meneruskan perkataan
yang terputus apabila konselor benar-benar merasa yakin bahwa klien betul-betul
tidak tahu istilah yang ingin diungkapkan
e.
Keterampilan menanggapi makna : berhubungan dengan
pengugkapan isi dari suatu permasalahan dari klien yang kadang sulit untuk bisa
diungkapkan oleh klien maka konselor harus mampu untuk menangkap makna dari
rangkaian “asosiasi bebas” yang dilakukan oleh klien
f.
Keterampilan menanggapi perasaan : peranan empati dari
konselor sangat berpengaruh dalam proses ini, untuk itu konselor harus mampu
meyakinkan klien akan rasa aman dalam proses konseling ini
g.
Keterampilan menanggapi perasaan dan alasannya :
konselor harus dengan sabar memahami keadaan psikis dari klien serta memberikan
kesempatan bagi klien untuk mengungkapkan segala sesuatu yang dialami dalam
menghadapi masalah yang sedang dialaminya.
Hal ini bisa
terjadi jika :
a.
Klien merasa
senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakkan
kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
b.
Konselor berupaya kreatif mengembangkan
teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang
jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.
c.
Proses
konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada
saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.
3.
Personalizing
Personalizing
adalah keterampilan mempribadikan untuk meningkatkan pemahaman klien.
Hal yang
harus di miliki konselor dalam tahap personalizing ini antara lain:
a. Keterampilan mempribadikan makna : setelah
beberapa tahap diatas berjalan konselor pada tahap ini dituntut untuk bisa
membuat klien memahami makna dari ungkapan yang telah dieksplorasi oleh diri
klien sendiri, hal ini dengan bantuan dari konselor untuk lebih bisa melihat
sesuatu lebih jernih.
b. Keterampilan mempribadikan masalah : setelah
klien memahami makna dari ungkapannya, konselor cob untuk lebih membuat klien
mengerti akan akar permasalahan yang sedang dialaminya shingga klien mulai ada
gambaran untuk meenyelesaikan masalah tersebut.
c. Keterampilan
mempribadikan perasaan : terkadang dalam diri klien terdapat ego defence yang
kuat sehingga sulit untuk bisa menerima suatu kegagalan, kekalahan atau lain
sebagainya yang membuat berfikir bahwa dirinya tak bersalah atau bermasalah,
dalam tahap inilah harus ada instropeksi diri dari klien agar bisa
menyelesaikan masalah yang sedanga dihadapi.
d. Keterampilan
mempribadikan tujuan : jika tahap diatas sudah bisa dilalui maka klien bisa
mulai menyusun tujuan penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi.
4.
Initiating
Initiating adalah keterampilan memulai utuk meningkatkan
klien dalam bertindak atau sering di sebut dengan tahap akhir.
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a.
Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling
b.
Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan
berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
c.
Mengevaluasi
jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
d.
Membuat
perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu
a.
menurunnya kecemasan klien
b.
perubahan
perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis
c.
pemahaman baru dari klien tentang masalah yang
dihadapinya
Contoh Proses
Konseling:
Klien
: “Assalamualaikum.
Selamat siang.” (Memberi salam)
Konselor:
“Walaikumsalam. Iya, selamat siang juga.” (Tersenyum)
Klien:
“Benar, ini dengan Ibu Anggi Cahya Trisnawati, konselor yang buka praktek
di sini?“
Konselor:
“Iya, saya sendiri. Apakah ini dengan Saudara Amira Kusnanda, yang kemarin
telah membuat janji dengan sekretaris saya untuk konsultasi dengan saya?”
Klien
: “Iya, Bu, benar!”
Konselor:
“Oh, iya, silahkan duduk! Emm, ada yang bisa saya bantu?”
Klien
: “Iya, Bu, saya
sedang ada masalah. Saya tidak bisa memecahkannya.”
Konselor:
“Bisa diceritakan, apa masalah Anda?”
Klien:
“Jadi begini Bu, akhir-akhir ini Ayah dan Ibu saya sering sekali bertengkar,
semenjak Ayah saya mempunyai pekerjaan sampingan di sebuah Produk Obat
Multilevel. Pekerjaan tetap Ayah saya adalah sebagai karyawan swasta disebuah
PT Perkebunan. Karena merasa masih sering mempunyai waktu luang dan dirasa pekerjaannya
tersebut ringan, maka Ayah memutuskan mencari pekerjaan sampingan, yaa...
sekedar untuk mengisi waktu luang. Nah, dia akhirnya dapat pekerjaan sampingan
di produk obat multilevel. Setelah mendapat pekerjaan sampingan itulah,
kata Ibu, Ayah selingkuh.” (tertunduk sedih)
Konselor:
“Saya bisa merasakan apa yang Anda rasakan. (Empati) Tapi bagaimana bisa
Ibu Anda beranggapan kalau Ayah Anda selingkuh? Apakah ada bukti atas tuduhan
tersebut?”
Klien:
“Ada Bu, Ibu saya pernah membaca SMS tidak wajar di handphone Ayah. Nah,
dari situlah Ibu saya sering marah-marah dan akhirnya bertengkar dengan Ayah.
Saya pusing sekali Bu, setiap melihat Ibu marah-marah.”
Konselor:
“Ooh, begitu yaa!(Paraphrasing) Emm, tadi Anda bilang bahwa Ibu Anda
pernah membaca SMS tidak wajar di handphone Ayah Anda. Bisa diceritakan
seperti apa bentuk SMS-nya?” (Eksplorasi)
Klien:
“Saya kurang tahu Bu, karena Ibu saya tidak pernah memperlihatkan SMS di handphone
Ayah itu. Tapi yang jelas, SMS itu yang sering membuat Ibu saya marah-marah.”
Konselor:
“Oo, jadi Anda tidak tahu ya! Seperti apa bentuk SMS tersebut? (Paraphrasing)
Ehem... tidakkah ada hal lain yang bisa membuat Ibu Anda marah-marah, selain
hanya karena SMS?”
Klien:
“Iya, ada Bu.”
Konselor:
“Apa itu? Bisa Anda ceritakan?” (Clarifying)
Klien:
“Baiklah. Ayah saya sering sekali pulang malam, dan dia sangat sibuk. Jarang
bisa kumpul-kumpul ataupun makan bersama keluarga. Padahal sebelumnya, sebelum
Ayah mempunyai pekerjaan sampingan itu, Ayah tidak pernah sibuk, apalagi sampai
pulang malam. Hal itu yang menambah keyakinan Ibu saya kalau Ayah benar
selingkuh.”
Konselor:
“Apakah tuduhan Ibu Anda tersebut sudah pernah dibicarakan dengan Ayah Anda?
Lalu bagaimana tanggapan Ayah Anda?” (Eksplorasi)
Klien:
“Sudah Bu, tapi Ayah santai saja tanggapannya. Dia bilang tuduhan Ibu itu
salah. Soal SMS, itu hanya SMS dari rekan kerjanya yang menanyakan tentang
pekerjaan. Terus, kalau sering pulang malam, itu memang karena banyak pekerjaan
yang harus diselesaikan. Tapi Ibu saya tidak percaya dengan penjelasan Ayah
saya tersebut. Ibu bilang, itu semua hanya alasan Ayah saja.”
Konselor:
“Apakah Ibu Anda tidak mencari bukti lain untuk memperkuat tuduhannya tersebut?
Atau mengkin Anda sendiri yang mencari bukti itu?”
Klien:
“Iya Bu. Pernah suatu malam ketika Ibu saya sudah tidur, saya pernah memergoki
Ayah menelpon seseorang. Awalnya saya pikir Ayah sedang menelpon Om Yusuf,
teman kerja Ayah di kantor PT. Karena biasanya yang sering ditelpon Ayah
tentang pekerjaan adalah Om Yusuf itu. Tapi kok kali ini ada yang lain. Sekilas
terdengar suara wanita di suara handphone tersebut. Memang waktu Ayah
saya sedang menelpon tidak di speaker, tapi karena waktu itu sudah cukup
malam, jadi sedikit terdengar suara wanita itu, walaupun tidak terlalu jelas.”
(Sedih)
Konselor:
“Lalu, apa yang Anda dengar dari pembicaraan itu?” (Eksplorasi)
Klien:
“Saya mendengar ada percakapan tidak wajar antara Ayah dengan wanita itu.”
Konselor:
“Percakapan tidak wajar?”
Klien:
“iya, Bu.”
Konselor:
“Lalu...” (Minimal Encouragement)
Klien:
“Mereka membuat janji, Bu.”
Konselor:
:Janji? Bisa Anda lebih perjelas
lagi, janji seperti apa yang mereka buat?” (Clarifying)
Klien:
“Mereka membuat janji ketemuan dan jalan. Tapi saya tidak begitu tahu dimana
mereka akan ketemuan. Yang jelas besok mereka akan ketemuan.”
Konselor:
“Terus?” (Minimal Encouragement)
Klien:
“Dan benar, ketika pagi harinya, pagi-pagi sekali Ayah saya sudah bersiap-siap.
Ketika ditanya Ibu, katanya hari ini banyak kerjaan. Jadi harus berangkat
cepat.”
Konselor:
“Apakah Anda diam saja? Tidak terpikirkah oleh Anda untuk mengikuti perginya
Ayah Anda tersebut?” (Konfrontasi)
Klien:
“Yang pasti ada Bu, tapi keadaan tidak mendukung. Saya urungkan niat saya
tersebut. Saya hanya memantau perkembangan keadaan selanjutnya.”
Konselor:
“Lalu... (Minimal Encouragement) Bagaimana selanjutnya?”
Klien:
“Hari itu Ayah saya pulang malam, saya sangat yakin kalau memang Ayah
saya ketemuan dengan wanita tersebut.”
Konselor:
“Apakah Anda tahu, siapa wanita itu?”(Eksplorasi)
Klien:
“Wanita itu adalah teman kerjanya Ayah di produk obat multilevel itu. Nah, yang
jadi masalah, bagaimana Saya bisa membuat Ayah Saya mengakui perbuatannya kalau
memang benar dia selingkuh. Kalaupun tidak selingkuh, setidaknya dia sadar
kalau perbuatannya itu salah dan tidak pantas dia lakukan mengingat statusnya
sudah berkeluarga. Tidak pantaslah dia ketemuan dengan wanita seperti itu.
Lalu, apa yang harus saya lakukan Bu? Pernah terpikir untuk menegur Ayah. Tapi
saya takut..!” (Tertunduk)
Konselor:
“Jadi setelah kita berdiskusi beberapa waktu, alangkah baiknya jika kita
simpulkan terlebih dahulu pembicaraan kita, biar lebih jelas hasil pembicaraan
kita ini. Dari topik pembicaraan kita tadi, kita sudah sampai pada dua hal.
Pertama, Anda ingin benar-benar memastikan apakah Ayah Anda selingkuh atau
tidak, sekaligus untuk mencari bukti atas tuduhan Ibu Anda selama ini. Kedua,
Anda ingin mengingatkan kalau perbuatan Ayah Anda itu salah dan tidak pantas
dilakukan, tapi Anda belum ada keberanian untuk mengatakannya. Nah, apa yang
membuat Anda takut untuk menyampaikan hal itu kepada Ayah Anda?” (Summarizing)
Klien:
“Takut
Ayah marah.”
Konselor:
“Kenapa harus takut. Lalu, apakah Anda terus akan membiarkan Ayah Anda seperti
itu?” (Konfrontasi)
Klien:
“Tidaklah Bu, saya pasti akan mengingatkan Ayah. Tapi saya harus mencari waktu
yang tepat untuk membicarakan semuanya.”
Konselor:
“Bagus, saya setuju dengan Anda. (Memberi dukungan)
Klien:
“Tapi Bu, bagaimana kalau Ayah saya marah ketika saya mengingatkannya?” (Cemas)
Konselor:
“Itu semua tergantung pada Anda. Gunakanlah kata-kata yang sopan dan halus!
Jangan sampai memancing emosinya!. Ingatkan pelan-pelan, jangan seperti menggurui!
Tetap hargai pendapatnya, jangan dibantah!” (Memberi nasihat)
Klien:
“Iya, Bu, saya akan mencobanya.”
Konselor:
“Baiklah kalau begitu. Dari pembicaraan kita awal hingga sekarang, kita bisa
menyimpulkan bahwa, mulai sekarang Anda tidak akan takut lagi untuk
mengingatkan kepada Ayah Anda kalau perbuatannya itu salah. Lalu, Anda akan
mencoba berbicara kepada Ayah Anda untuk mengingatkan kekeliruannya tersebut.
Benar begitu kan?” (Menyimpulkan)
Klien:
“Benar sekali, Bu. Terimakasih ya Bu, atas masukan dan nasehatnya. saya merasa
ada solusi untuk masalah saya setelah saya konsultasi dengan ibu.”
Konselor:
“Iya, sama-sama. Bukan saya yang memberi solusi, tapi Anda sendiri. Anda hebat!
Saya salut dengan Anda. Karena Anda yang semuda ini sudah bisa berpikir dewasa
dalam menghadapi masalah. Semoga dapat cepat selesai ya masalahnya!” (Memberi
pujian)
Klien:
“Oya
Bu, bagaimana kalau kita adakan pertemuan lagi setelah saya berbicara dengan
Ayah, Bu?”
Konselor:
“Ooh, tentu saja boleh kalau memang Anda maunya seperti itu.”
Kien;
“iya, Bu. Sekali lagi terimakasih. Baiklah, saya pamit dulu. Assalamualaikum.”
(Menjabat tangan konselor, dan beranjak)
Konselor:
“Walaikumsalam. Saya tunggu kedatangan Anda kembali.” (Menyambut jabatan tangan
klien sambil tersenyum^_^)
Daftar
Pustaka
Winkel dan MM. Sri Hastuti. Bimbingan dan konseling di institusi
pendidikan. Yogyakarta : media Abadi
Willis, Sofyan. 2004. konseling individual dan praktek. Bandung : Alfabeta
Lesmana, M. Janette. Dasar-dasar konseling. Jakarta : UI PRESS
Surya, Mohammad. 1988. dasar-dasar penyusunan (konseling). Jakarta :
dekdikbud
Supriyo dan Mulawarman. 2006. keterampilan dasar-dasar konseling. Semarang
: UNNES
adipsi.blogspot.com/2010/06/prosedur-konseling.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar