Kamis, 04 Juni 2015

Tahap - Tahap dalam Konseling




Ketrampilan yang harus di miliki oleh seorang konseling

Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus.
Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah) atau sering di sebut dengan Attending. (2) tahap inti (tahap kerja) atau sering di sebut dengan Responding dan personalizing  dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan). atau Initiating

Jadi pada intinya Keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang konseling, antara lain:
1.     Attending
Attending adalah  perilaku konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam bentuk kontak mata dengan klien, bahasa tubuh dan bahasa lisan. Keterampilan attending juga mencerminkan bagaimana
konselormenghampiri klien yang diwujudkan dalam perilaku di atas. Proses konseling menuntut keterlibatan atau pertisipasi dari klien. Oleh karena itu, kemampuan attending konselor, akan memudahkannya untuk membuat klien terlibai pembicaraan dan terbuka.   Selain itu Attending merupakan keterampilan memperhatikan untuk meningkatkan keterlibatan klien atau sering di sebut dengan tahap awal, Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan masalah klien.

Ciri-ciri Attending yang baik adalah:
1.      Menganggukkan kepala dengan apabila menyetujui pernyataan klien
2.      Ekspresi wajah tenang, ceria dan senyum
3.      Posisi tubuh agak condong kearah klien, jarak antara konselor dengan klien dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan
4.      Variasi isyarat gerakan tangan berubah- ubah untuk menekankan suatu pembicaraan
5.      Mendengarkan secara aktif, penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai.
Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
a.        Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
b.      Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.
c.       Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.
d.      Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi:
(1)   Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan
(2)    Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan
(3)    Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
e.       Keterampilan mendengarkan : untuk menjadi pendengar yang baik bukan berarti konselor hanya diam mendengarkan tetapi harus ada empati dalam proses mendengar diatas serta bebeapa teknik yang bisa menunjukkan bahwa konselor benar-benar mendengarkan apa yang dieksplorasi oleh klien.

2.     Responding
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja atau yang di sebut dengan Responding  adalah keterampilan menanggapi untuk meningkatkan eksplorasi klien.
Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
a.       Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya.
b.       Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.
c.       Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.
d.      Keterampilan menanggapi isi : konselor harus mampu memahami isi dari pernyataan klien, sebab pada umumnya klien mendapat kesukaran untuk bisa mengungkapkan atau menyatakan suatu perasaan dirinya. Oleh karena itu konselor perlu membantu klien, kalau perlu membantu meneruskan perkataan yang terputus apabila konselor benar-benar merasa yakin bahwa klien betul-betul tidak tahu istilah yang ingin diungkapkan
e.       Keterampilan menanggapi makna : berhubungan dengan pengugkapan isi dari suatu permasalahan dari klien yang kadang sulit untuk bisa diungkapkan oleh klien maka konselor harus mampu untuk menangkap makna dari rangkaian “asosiasi bebas” yang dilakukan oleh klien
f.       Keterampilan menanggapi perasaan : peranan empati dari konselor sangat berpengaruh dalam proses ini, untuk itu konselor harus mampu meyakinkan klien akan rasa aman dalam proses konseling ini
g.      Keterampilan menanggapi perasaan dan alasannya : konselor harus dengan sabar memahami keadaan psikis dari klien serta memberikan kesempatan bagi klien untuk mengungkapkan segala sesuatu yang dialami dalam menghadapi masalah yang sedang dialaminya.

Hal ini bisa terjadi jika :
a.         Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
b.         Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.
c.         Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.

3.     Personalizing
Personalizing adalah keterampilan mempribadikan untuk meningkatkan pemahaman klien.
Hal yang harus di miliki konselor dalam tahap personalizing ini antara lain:
a.        Keterampilan mempribadikan makna : setelah beberapa tahap diatas berjalan konselor pada tahap ini dituntut untuk bisa membuat klien memahami makna dari ungkapan yang telah dieksplorasi oleh diri klien sendiri, hal ini dengan bantuan dari konselor untuk lebih bisa melihat sesuatu lebih jernih.
b.       Keterampilan mempribadikan masalah : setelah klien memahami makna dari ungkapannya, konselor cob untuk lebih membuat klien mengerti akan akar permasalahan yang sedang dialaminya shingga klien mulai ada gambaran untuk meenyelesaikan masalah tersebut.
c.       Keterampilan mempribadikan perasaan : terkadang dalam diri klien terdapat ego defence yang kuat sehingga sulit untuk bisa menerima suatu kegagalan, kekalahan atau lain sebagainya yang membuat berfikir bahwa dirinya tak bersalah atau bermasalah, dalam tahap inilah harus ada instropeksi diri dari klien agar bisa menyelesaikan masalah yang sedanga dihadapi.
d.      Keterampilan mempribadikan tujuan : jika tahap diatas sudah bisa dilalui maka klien bisa mulai menyusun tujuan penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi.

4.     Initiating
Initiating  adalah keterampilan memulai utuk meningkatkan klien dalam bertindak atau sering di sebut dengan tahap akhir.
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a.         Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling
b.        Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
c.       Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
d.      Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu
a.        menurunnya kecemasan klien
b.      perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis
c.        pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya
Contoh Proses Konseling:

Klien   :           “Assalamualaikum. Selamat siang.” (Memberi salam)
Konselor:         “Walaikumsalam. Iya, selamat siang juga.” (Tersenyum)
Klien:              “Benar, ini dengan Ibu Anggi Cahya Trisnawati, konselor  yang buka praktek    di sini?“
Konselor:         “Iya, saya sendiri. Apakah ini dengan Saudara Amira Kusnanda, yang kemarin telah membuat janji dengan sekretaris saya untuk konsultasi dengan saya?”
Klien   :           “Iya, Bu, benar!”
Konselor:         “Oh, iya, silahkan duduk! Emm, ada yang bisa saya bantu?”
Klien   :           “Iya, Bu, saya sedang ada masalah. Saya tidak bisa memecahkannya.”
Konselor:         “Bisa diceritakan, apa masalah Anda?”
Klien:              “Jadi begini Bu, akhir-akhir ini Ayah dan Ibu saya sering sekali bertengkar, semenjak Ayah saya mempunyai pekerjaan  sampingan di sebuah Produk Obat Multilevel. Pekerjaan tetap Ayah saya adalah sebagai karyawan swasta disebuah PT Perkebunan. Karena merasa masih sering mempunyai waktu luang dan dirasa pekerjaannya tersebut ringan, maka Ayah memutuskan mencari pekerjaan sampingan, yaa... sekedar untuk mengisi waktu luang. Nah, dia akhirnya dapat pekerjaan sampingan di produk obat multilevel.  Setelah mendapat pekerjaan sampingan itulah, kata Ibu, Ayah selingkuh.” (tertunduk sedih)
Konselor:         “Saya bisa merasakan apa yang Anda rasakan. (Empati) Tapi bagaimana bisa Ibu Anda beranggapan kalau Ayah Anda selingkuh? Apakah ada bukti atas tuduhan tersebut?”
Klien:              “Ada Bu, Ibu saya pernah membaca SMS tidak wajar di handphone Ayah. Nah, dari situlah Ibu saya sering marah-marah dan akhirnya bertengkar dengan Ayah. Saya pusing sekali Bu, setiap melihat Ibu marah-marah.”
Konselor:         “Ooh, begitu yaa!(Paraphrasing) Emm, tadi Anda bilang bahwa Ibu Anda pernah membaca SMS tidak wajar di handphone Ayah Anda. Bisa diceritakan seperti apa bentuk SMS-nya?” (Eksplorasi)
Klien:              “Saya kurang tahu Bu, karena Ibu saya tidak pernah memperlihatkan SMS di handphone Ayah itu. Tapi yang jelas, SMS itu yang sering membuat Ibu saya marah-marah.”
Konselor:         “Oo, jadi Anda tidak tahu ya! Seperti apa bentuk SMS tersebut? (Paraphrasing) Ehem... tidakkah ada hal lain yang bisa membuat Ibu Anda marah-marah, selain hanya karena SMS?”
Klien:              “Iya, ada Bu.”
Konselor:         “Apa itu? Bisa Anda ceritakan?” (Clarifying)
Klien:              “Baiklah. Ayah saya sering sekali pulang malam, dan dia sangat sibuk. Jarang bisa kumpul-kumpul ataupun makan bersama keluarga. Padahal sebelumnya, sebelum Ayah mempunyai pekerjaan sampingan itu, Ayah tidak pernah sibuk, apalagi sampai pulang malam. Hal itu yang menambah keyakinan Ibu saya kalau Ayah benar selingkuh.”
Konselor:         “Apakah tuduhan Ibu Anda tersebut sudah pernah dibicarakan dengan Ayah Anda? Lalu bagaimana tanggapan Ayah Anda?” (Eksplorasi)
Klien:              “Sudah Bu, tapi Ayah santai saja tanggapannya. Dia bilang tuduhan Ibu itu salah. Soal SMS, itu hanya SMS dari rekan kerjanya yang menanyakan tentang pekerjaan. Terus, kalau sering pulang malam, itu memang karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi Ibu saya tidak percaya dengan penjelasan Ayah saya tersebut. Ibu bilang, itu semua hanya alasan  Ayah saja.”
Konselor:         “Apakah Ibu Anda tidak mencari bukti lain untuk memperkuat tuduhannya tersebut? Atau mengkin Anda sendiri yang mencari bukti itu?”
Klien:              “Iya Bu. Pernah suatu malam ketika Ibu saya sudah tidur, saya pernah memergoki Ayah menelpon seseorang. Awalnya saya pikir Ayah sedang menelpon Om Yusuf, teman kerja Ayah di kantor PT. Karena biasanya yang sering ditelpon Ayah tentang pekerjaan adalah Om Yusuf itu. Tapi kok kali ini ada yang lain. Sekilas terdengar suara wanita di suara handphone tersebut. Memang waktu Ayah saya sedang menelpon tidak di speaker, tapi karena waktu itu sudah cukup malam, jadi sedikit terdengar suara wanita itu, walaupun tidak terlalu jelas.” (Sedih)
Konselor:         “Lalu,  apa yang Anda dengar dari pembicaraan itu?” (Eksplorasi)
Klien:              “Saya mendengar ada percakapan tidak wajar antara Ayah dengan wanita itu.”
Konselor:         “Percakapan tidak wajar?”
Klien:              “iya, Bu.”
Konselor:         “Lalu...” (Minimal Encouragement)
Klien:              “Mereka membuat janji, Bu.”
Konselor:         :Janji? Bisa Anda lebih perjelas lagi, janji seperti apa yang mereka buat?” (Clarifying)
Klien:              “Mereka membuat janji ketemuan dan jalan. Tapi saya tidak begitu tahu dimana mereka akan ketemuan. Yang jelas besok mereka akan ketemuan.”
Konselor:         “Terus?” (Minimal Encouragement)
Klien:              “Dan benar, ketika pagi harinya, pagi-pagi sekali Ayah saya sudah bersiap-siap. Ketika ditanya Ibu, katanya hari ini banyak kerjaan. Jadi harus berangkat cepat.”
Konselor:         “Apakah Anda diam saja? Tidak terpikirkah oleh Anda untuk mengikuti perginya Ayah Anda tersebut?” (Konfrontasi)
Klien:              “Yang pasti ada Bu, tapi keadaan tidak mendukung. Saya urungkan niat saya tersebut. Saya hanya memantau perkembangan keadaan selanjutnya.”
Konselor:         “Lalu... (Minimal Encouragement) Bagaimana selanjutnya?”
Klien:              “Hari itu Ayah saya pulang malam, saya sangat yakin kalau memang Ayah saya  ketemuan dengan wanita tersebut.”
Konselor:         “Apakah Anda tahu, siapa wanita itu?”(Eksplorasi)
Klien:              “Wanita itu adalah teman kerjanya Ayah di produk obat multilevel itu. Nah, yang jadi masalah, bagaimana Saya bisa membuat Ayah Saya mengakui perbuatannya kalau memang benar dia selingkuh. Kalaupun tidak selingkuh, setidaknya dia sadar kalau perbuatannya itu salah dan tidak pantas dia lakukan mengingat statusnya sudah berkeluarga. Tidak pantaslah dia ketemuan dengan wanita seperti itu. Lalu, apa yang harus saya lakukan Bu? Pernah terpikir untuk menegur Ayah. Tapi saya takut..!” (Tertunduk)
Konselor:         “Jadi setelah kita berdiskusi beberapa waktu, alangkah baiknya jika kita simpulkan terlebih dahulu pembicaraan kita, biar lebih jelas hasil pembicaraan kita ini. Dari topik pembicaraan kita tadi, kita sudah sampai pada dua hal. Pertama, Anda ingin benar-benar memastikan apakah Ayah Anda selingkuh atau tidak, sekaligus untuk mencari bukti atas tuduhan Ibu Anda selama ini. Kedua, Anda ingin mengingatkan kalau perbuatan Ayah Anda itu salah dan tidak pantas dilakukan, tapi Anda belum ada keberanian untuk mengatakannya. Nah, apa yang membuat Anda takut untuk menyampaikan hal itu kepada Ayah Anda?” (Summarizing)
Klien:              “Takut Ayah marah.”
Konselor:         “Kenapa harus takut. Lalu, apakah Anda terus akan membiarkan Ayah Anda seperti itu?” (Konfrontasi)
Klien:              “Tidaklah Bu, saya pasti akan mengingatkan Ayah. Tapi saya harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya.”
Konselor:         “Bagus, saya setuju dengan Anda. (Memberi dukungan)
Klien:              “Tapi Bu, bagaimana kalau Ayah saya marah ketika saya mengingatkannya?” (Cemas)
Konselor:         “Itu semua tergantung pada Anda. Gunakanlah kata-kata yang sopan dan halus! Jangan sampai memancing emosinya!. Ingatkan pelan-pelan, jangan seperti menggurui! Tetap hargai pendapatnya, jangan dibantah!” (Memberi nasihat)
Klien:              “Iya, Bu, saya akan mencobanya.”
Konselor:         “Baiklah kalau begitu. Dari pembicaraan kita awal hingga sekarang, kita bisa menyimpulkan bahwa, mulai sekarang Anda tidak akan takut lagi untuk mengingatkan kepada Ayah Anda kalau perbuatannya itu salah. Lalu, Anda akan mencoba berbicara kepada Ayah Anda untuk mengingatkan kekeliruannya tersebut. Benar begitu kan?” (Menyimpulkan)
Klien:              “Benar sekali, Bu. Terimakasih ya Bu, atas masukan dan nasehatnya. saya merasa ada solusi untuk masalah saya setelah saya konsultasi dengan ibu.”
Konselor:         “Iya, sama-sama. Bukan saya yang memberi solusi, tapi Anda sendiri. Anda hebat! Saya salut dengan Anda. Karena Anda yang semuda ini sudah bisa berpikir dewasa dalam menghadapi masalah. Semoga dapat cepat selesai ya masalahnya!” (Memberi pujian)
Klien:              “Oya Bu, bagaimana kalau kita adakan pertemuan lagi setelah saya berbicara dengan Ayah, Bu?”
Konselor:         “Ooh, tentu saja boleh kalau memang Anda maunya seperti itu.”
Kien;               “iya, Bu. Sekali lagi terimakasih. Baiklah, saya pamit dulu. Assalamualaikum.” (Menjabat tangan konselor, dan beranjak)
Konselor:         “Walaikumsalam. Saya tunggu kedatangan Anda kembali.” (Menyambut jabatan tangan klien sambil tersenyum^_^)



Daftar Pustaka

Winkel dan MM. Sri Hastuti. Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Yogyakarta : media Abadi
Willis, Sofyan. 2004. konseling individual dan praktek. Bandung : Alfabeta
Lesmana, M. Janette. Dasar-dasar konseling. Jakarta : UI PRESS
Surya, Mohammad. 1988. dasar-dasar penyusunan (konseling). Jakarta : dekdikbud
Supriyo dan Mulawarman. 2006. keterampilan dasar-dasar konseling. Semarang : UNNES
adipsi.blogspot.com/2010/06/prosedur-konseling.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar